Minggu, 29 Juli 2012

Telusuri Estetika Alam Riam

SOUNDTRACK film kartun ninja hatori menjadi pengiring perjalanan siang itu. Saya, ditemani dua kawan jurnalis, seorang kawan kantor dan seorang suami beserta anak dari salah seorang jurnalis sedang memulai petualangan ke Desa Riam. Desa itu disebut-sebut sebagai salah satu pemilik peradaban asli Kalimantan.

Begitu ada kesempatan berkunjung ke daerah ini, awal Juni lalu, aroma petualangan langsung terbayang dan tentu saja membangkitkan naluri jurnalistik kami betiga. Karena itu, kami tidak mensia-siakan waktu, dan langsung bergegas setelah menyelesaikan tugas kantor untuk meliput berita tentang perlombaan olah tempat kejadian perkara (TKP) di Polres Kobar.

Dari Pangkalan Bun (ibu kota Kotawaringin Barat) jarak-nya membentang hingga 150 kilometer lebih membelah jalan trans Kalimantan menuju Sampit dan jalan perusahaan perkebunan sawit Korin III. Aroma petualangan semakin tercium saat mulai memasuki jalan perusahaan sawit Korin III setelah sekitar 50 kilometer melewati jalan trans Kalimantan. Suara kicau burung, udara yang menyegarkan, dan bau pepohonan hutan membuat perjalanan menyenangkan. Cuaca yang cerah makin membuat rekan saya aktif memotret pemandangan sepanjang jalan tersebut.


Menentukan Arah: Bayu, salah seorang tim dari ekspedisi alam riam sedang berfikir untuk menentukan arah jalan yang akan di tempuh.
Sepanjang perjalanan kami sering berhenti untuk bertanya atau hanya sekedar melepas lelah. Maklum, di antara kami semua belum ada yang pernah berkunjung ke desa tersebut. Cuma mendapat sedikit informasi saja dari sejumlah anggota DPRD yang belum lama ini melakukan reses ke desa itu.

Tak terasa hari semakin sore, waktu pun menunjukan pukul 05.00 WIB. Tidak ada orang yang bisa di tanya lagi sebelum kami menemukan sebuah kamp harapan tempat pekerja Korin III bermukim sementara. Tapi, itu pun masih sulit untuk dijadikan sebagai acuan arah melangkah selanjutnya. Sinar matahari mulai me-redup, ternyata sudah satu jam lebih kami berkendaraan meninggalkan kamp harapan. Tapi, desa itu tak kunjung tampak. Kami pun mulai cemas, kehilangan kendali dan sempat frustasi. Ditambah lagi dengan kondisi BBM kendaraan yang mulai menipis, tanpa alat navigasi, membuat saya sedikit pesimis bisa menemukan desa itu.

Salah seorang kawan jurnalis saya terus berkata agar tetap tenang dan meyakinkan kami bahwa desa tersebut bisa ditemukan. Dengan gaya investigasinya yang khas dia mulai memilah jalan yang harus dilalui oleh kami dikala menemukan persimpangan. Satu demi satu bongkahan tanah lumpur bekas ban kendaraan lain yang melintasi dilihat dan dipegang. Selanjutnya dibandingkan de-ngan jalan yang lain. Patokan kami, yang paling banyak menyetak bekas ban kendaraan serta kalau dipegang masih terasa lembek hasil cetakan ban tersebut, itulah jalan yang kami lalui. Ternyata itu tak sia-sia, dengan sedikit keberuntungan kami pun sampai di desa yang menyimpan ragam budaya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar