Minggu, 29 Juli 2012

Demokrasi Pancasila Dalam Pemikiran Elit Kaum Pragmatis

LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia yang sangat banyak menghadapi masalah baik bencana maupun krisis yang masih terus berkepanjangan. Keadaan bangsa Indonesia yang seakan tidak mau keluar dari masalah tersebut menyebabkan sulitnya perkembangan yang terjadi di negara Indonesia baik di politik, sosial budaya, pertahanan keamanan sampai ke perekonomian Indonesia yang temasuk sebagai salah satu negara miskin di dunia. Tidak bisa di pungkiri masih banyak warga negara Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Satu sisi, kekayaan sumberdaya alam yang melimpah ruah seakan menunjukan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia adalah negara yang kaya tetapi di sisi lain menimbulkan banyak teka-teki, apakah warga negara Indonesia tidak dapat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Tetapi kalau teka-teki tentunya bisa di pertanyakan lagi, kalau memang warga negara Indonesia tidak tahu mengolah dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang ada tentunya sumber daya alam Indonesia harusnya masih perawan atau belum terjamah, tetapi kenapa sangat banyak kekayaan alam Indonesia yang sudah gundul bahkan tandus?
Sistem ideologi bangsa Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Dimana sistem ideologi yang berdasarkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat serta diatur dalam dasar negara RI yaitu Pancasila. Hal ini sangat terlihat jelas dalam sisa Pancasila khususnya sila ke-4 “ kerakyatan yang di pimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dan di dukung lagi oleh batang tubuh UUD 45. Bahkan tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 “kekayaan alam dan segala yang termasuk di dalamnya adalah milik negara dan digunakan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat.
Sudah jelas sistem pemerintahan RI adalah Demokrasi Pancasila yang selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya. Sistem perwakilan rakyat yang ada dalam kursi pemerintahan akan memperjuangkan rakyatnya. Tetapi hal ini kurang berjalan sesuai dengan esensinya yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahkan banyak dari pemerintah sebelum terpilih selalu menjanjikan hal-hal yang di inginkan masyarakat, tetapi sesudah menjabat dan menduduki kursi di pemerintahan lupa akan janjinya tersebut.
Kaum pragmatis beranggapan benar tidaknya suatu dalil, ucapan atau teori semata-mata bergantung kepada azas manfaat. Sesuatu di katakan atau dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan hal tersebut. Memang pada dasarnya tujuan dari pragmatis itu sendiri baik, tetapi dalam prakteknya akan ada pihak yang di rugikan. Dewasa ini banyak orang yang menghalalkan segala cara hanya intuk mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri. Hal inilah yang terjadi dalam tubuk pemerintahan Indonesia era reformasi. Mencerminkan belum bertemunya mekanisme politik yang di inginkan dengan kondisi faktial masyarakat.
Berkurangnya kadar kepercayaan dan penghargaan terhadap berbagai institusi politik negeri ini Kian mengkhawatirkan karena bisa jadi merupakan ceminan dari melunturnya rasa keterikatan atau komitmen terhadap nilai ideologi dan konstitusi bangsa ini.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah Pragmatisme yang terjadi di Demokrasi Indonesia?
2. Bagaimanakah proses penyampaian kehendak dan aspirasi rakyat dalam wujud Demokrasi Indonesia?
3. Bagaimana pandangan publik terhadap kinerja Demokrasi di Indonesia baik dari segi positf maupun negatif?

TINJAUAN PUSTAKA

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma yang artinya guna. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah bahwa apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Menurut filsafar ini benar tidaknya suatu dalil, ucapan atau teori semata-mata bergantung pada azas manfaat. Suatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat, begitu juga sebaliknya.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat di terima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide tersebut benar.
Menurut teori Pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa akibatyang bermanfaat dan memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktek, dan apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran adalah apa saja yang berlaku (works).
Yang di maksud dengan hasil yang memuskan ialah :
1. Apabila memenuhi keinginan dan tujuan manusia
2. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada
Menurut pendapat ini, tidak ada apa yang disebut kebenaran mutlak, atau kebenaran yang tetap.
Contoh : ilmu botani itu benar bagi para petani karena mendatangkan manfaat tetapi belum tentu bagi nelayan karena ia tidak memerlukan ilmu botani. Yang ia perlukan adalah ilmu parbintangan kerena dapat memberi petunjuk arah dan keadaan cuaca pada saat ia mengarungi lautan.
Masalah kebenaran, tentang asal atau tujuan dan hakekat bagi orang amerika terlalu teoritis. Yang diinginkan adalah hasil-hasil konkrit. Dengan demikian untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah di selidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya (William James, 1820-1910).
Mengetahui merupakan alat atau instrumen untuk menangani situasi tertentu. Pikiran adalah insrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan. Ide-ide merupakan senjata yang bertujuan dari pikiran. Ide-ide adalah luwes dan mudah dapat disesuaikan. Pragmatisme sebagai instrumentalisme (Jhon Dawey, 1859-1952).
Prisip Pragmatisme : manusia perlu menentukan mana tindakan yang sangat berarti yang perlu di ambil. Untuk memahami objek pemikiran, manusia perlu mempertimbangkan akibat praktis yang menurut akal sehat termuat dalam objek itu. Konsepsi kita tentang akibat-akibat ini merupakan keseluruhan kosepsi kita tentang objek itu, sejauh konsepsi itu benar-benar mempunyai arti positif. Demikian pula tindakan tidak dapat difahami jika kita tidak dapat memahami konsekuensi praktis atau hasil dari tindakan itu (Charles S Pierce, 1839-1914)
LANDASAN TEORI

Democracy: Government Of The People, By The People, For The People.
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kita mengenal berbagai jenis Demokrasi, diantaranya Demokrasi konstitusional, Demokrasi parlemen, Demokrasi rakyat, Demokrasi Pancasila dan sebagainya.
Menurut penelitian UNESCO pada tahun 1949 yang hasilnya adalah “mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan sesuai untuk semua sistem organisasi politik”.
Demokrasi umumnya dianggap mengungkapkan dua nilai yang sangat dihargai: kebebasan (freedom) dan persamaan (equality). Kebebasan: memberikan kesempatan rakyat mengajukan pendapat dalam pembuatan keputusan politik; terutama keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Persamaan: kebebasan itu diberikan pada kita semua secara sama.
Bentham: democratic goverenment rule ‘in the interest of the governed
Demokrasi yang dianut Indonesia, yaitu Demokrasi yang berdasrkan Pancasila, masih dalam taraf pengembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidah dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari Demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam UUD 1945. Selain dari itu UUD kita juga menyebut secara ekplisit dua prinsip yang menjiwai dan dicantumkan dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).
2. Sistem konstitusional
Pemerintahan berdasarkan konstitusional (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), berdasarkan dua istilah “rechstaat” dan “system konstitusi” maka jelaslah bahwa Demokrasi yang menjadi dasar UUD 1945, ialah Demokrasi konstitusional.
Disamping itu corak khas Demokrasi Indonesia , yaitu kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan dimuat dalam pembukaan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila yang bercirikhaskan sila ke-4 Pancasila menunjukan bahwa Demokrasi yang di Indonesia selalu mengutamakan kepentingan dan suara rakyat. Dalam prakteknya rakyatlah yang memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di pemerintahan guna memperjuangkan dan melaksanakan aspirasi rakyat. Pemilihan pemerintahan dari rakyat melalui partai politik menandakan sistem pemerintahan Indonesia dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


PEMBAHASAN

Sepak terjang dunia politisi masa kini yang dinilai semakin mengutamakan azas Pragmatisme, menyebabkan jatuhnya citra hampir seluruh kelembagaan politik Negara. Proses demokratisasi pun semakin terancam oleh kuatnya penonjolan kepentingan pribadi elite politik.
Tahap krusial setiap bangsa untuk menemukan bentuk Demokrasi yang dianggap paling tepat adalah saat sebuah bangsa membangun mekanisme politik, yang meliputi gaya dan tingkah laku politik yang dianggap paling sesuai dan andal bagi kehidupan bangsa itu. Pengalaman bangsa Indonesia yang telah berganti model Demokrasi, sejak Demokrasi liberal, Demokrasi terpimpin, Demokrasi perwakilan, hingga Demokrasi model era reformasi, mencerminkan belum bertemunya mekanisme politik yang diinginkan dengan kondisi factual masyarakat.
Berkurangnya kadar kepercayaan dan penghargaan terhadap berbagai institusi politik Negara ini kian mengkhawatirkan karena bias jadi merupakan cerminan dari melunturnya rasa keterikatan (komitmen) terhadap nilai ideology dan konstitusi bangsa ini. Padahal, mekanisme politik Demokrasi tidak mungkin muncul dan bertahan dalam setiap politik apabila manusia yang menjadi anggota masyarakat, termasuk elit politik dan penguasa, tidak memiliki sikap demokratis (Alfian, politik, kebudayaan dan manusia Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1982)
Sulit dihindari dan harus diakui kekecewaan yang berkembang pada berbagai lembaga Demokrasi bias mewujud kepada kian membesarnya apatisme politik, yang salah satu wujudnya adalah menurunnya pemilih pada pemilu. Pemilihan kepala daerah di beberapa daerah sudah menunjukan kecenderungan apatisme tersebut. Meski penuruna partisipasi itu tidak akan secara langsung mengancam stabilitasi politik Negara, bukan tidak mungkin akumulasi kekecewaan berbuah menjadi anti kemapanan yang lebih nyata.
Kenyataan menunjukan, terbentuknya mekanisme politik saat ini, antara lain meliputi bentuk baru kelembagaan Negara serta kebebasan berekspresi dan politik, ternyata belum membawa masyarakat dan pemerintah pada budaya Demokrasi. Nilai yang seharusnya menyertai demokratisasi, seperti setiap warga Negara memiliki kesempatan dan persamaan di muka hokum, mendapat perlindungan hukum dan kebebasan hak yang dilindungi oleh hokum serta adanya pengakuan kedaulatan rakyat dan kedewasaan berpolitik, tidak kunjung dating. Masyarakat dan elit politik justru kerap masuk dalam suasama dilematis sehingga yang tampak kepermukaan adalah cermin yang memantulkan silang-sengkarut penegakan hokum, percekcokan antarelite politik dan perilaku pragmatis para politisi.
Membangun mekanisme Demokrasi yang sehat juga mengandaikan hadir dan berfungsinya lembaga politik sesuai dengan kehendak ideologi dan konstitusi. Kehadiran lembaga baru seperti dewan perwakilan daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semestinya menjadi nilai tambah dari mekanisme checks and balances yang dianut saat ini. Namun yang terekam dari perjalanan selama beberapa tahun kehadiran lembaga tersebut justru kekisruhan politik dan hukum yang terjadi. Sebagaimana akhir perseteruan antara KY dengan MA, atau yang terbaru, akhir perseteruan antara Ketua KPK dan Mensesneg yang mengambarkan nilai Demokrasi (penegakan hukum) yang dibangun tidak selalu sama dengan nilai politis stabilitas kekuasaan.
Menguatnya politik aliran sebagian masyarakat, perpecahan internal parpol hingga tarik ulur perubahan kelima UUD 1945, pada satu sisi menggambarkan sisi dinamis dan cairnya mekanisme politik saat ini. Namun hal itu boleh jadi juga menyiratkan kian longgarnya ikatan kebersamaan diantara sesama anak bangsa. Kecemasan poltik meningkat karena wadah Demokrasi justru semakin banyak dimanipulasi elit dan politisi untuk memuaskan hasrat dan menumpuk kekayaan. Di mata publik, nyaris mustahil menemukan sosok politikus yang dinilai bersih dari berbagai “noda” politik saat ini. Baik elit politik yang duduk dilembaga eksekutif maupun legislatif dinilai sama buruknya oleh publik. Baik dinilai dari aspek kelembagaan politik, prilaku politisi, maupun keberpihakan kepada rakyat, sama-sama menunjukkan hasil negatif.
Penilaian paling negatif terhadap citra dan kinerja kelembagaan negara saat ini justru dialamatkan kepada wakil rakyat yang duduk di DPR, DPRD, dan DPD. Hanya sepertiga bagian responden (antara 26% dan 30%) yang menilai citra wakil rakyat itu baik. Sementara sekitar 60% responden justru menilai sosok mereka memang masih buruk.
Merebaknya berbagai kasus yang menyangkut pribadi wakil rakyat, seperti kasus kedisiplinan dalam persidangan, studi banding, video mesum, hingga yang terakhir soal dana rapelan tunjangan komunikasi, tak pelak menjadi promosi efektif bagaimana kinerja wakil rakyat. Ditengah sorotan terhadap lemahnya fungsi kontrol dan penyerapan aspirasi anggota DPRD, keengganan sebagian wakil rakyat mengembalikan dana tunjangan, mengentalkan pandangan atas Pragmatisme pada diri politisi daerah. Pada jajak pendapat kompas januari 2007, hanya 12,2% responden yang masih percaya kalau orientasi perjuangan anggota DPRD diabdikan untuk kepentingan rakyat. Selebihnya memandang orientasi mereka lebih ditujukan untuk kepentingannya sendiri dan pertai.
Sementara sepak terjang DPD yang sebetulnya diharapkan menjadi penyeimbang dari wksistensi parpol di parlemen pada kenyataannya belum mampu benar-benar hadir ditengah rakyat. Sejauh ini sebagian besar responden tetap belum memahami dan mengenal sepak terjang politisi DPD. Dalih bahwa sistem politik kuraang mengakomodasi kepentingan anggota DPD justru semakn menegaskan semakin rendahnya komunikasi politik.
Pandangan negatif juga masih disuarakan publik terhadap kiprah parpol melaksanakan fungsinya menjadi perwujudan suara politik rakyat. Dalam jajak pendapat ini terlihat tingkatnya dinilai sama bahkan lebih buruk dari pada wakil rakyat. Hanya sekitar seperempat bagian responden yang menilai citra dan kinerja parplo baik sedangkan sekitar 60% lainnya masih menilai buruk. Dominasi parpol dalam mekanisme perekrutan wakil rakyat di DPR dan DPRD serta masih kuatnya keterikatan mereka kepada parpol saat sudah menjadi wakil rakyat menyebabkan terlalu sulitnya memisahkan identitas sosok wakil rakyat dari parpolnya. Apalagi dalam berbagai kasus penting, publik melihat suara wakil rakyat di DPR mudah di tebak hasil akhirnya berdasarkan kepentingan dan posisi politik parpol. Yang agak positif adalah penilaian publik terhadap citra dan kinerja politisi lembaga eksekutif, relatif lebih baik ketimbang legislatif. Penilaian baik terhadap citra dan kinerja presiden Susilo Bambang Yudoyono, misalnya, masih mencakup sekitar 60% responden dan hanya sebagian kecil yang menilai buruk. Kecenderungan serupa, meski lebih tipis, justru tercermin dalam sikap responden menilai kiprah Wapres Jusuf Kalla. Memang terasa ada sentimen latar belakang politik. Dilihat dari latar belakangnya terlihat responden yang menjadi pemilih parpol pendukung pemerintah saat ini cenderung lebih menilai positif, sedangkan pemilih partai oposisi, seperti PDIP, cenderung menilai buruk citra dan kinerja presiden dan wapres. Namun sentimen itu pudar tatkala menilai kiprah dan citra menteri kabinet, yang secara umum menilai masih buruk dan tidak memuaskan.
Kehendak dan kedaulatan rakyat, yang merupakan sendi utama Demokrasi, belum sepenuhnya diakomodasi. Paling tidak hal itu tercermin dari kegamangan responden memandang terakomodasinya aspirasi mereka oleh mekanisme Demokrasi. Parpol dan wakil rakyat yang menjadi sarana agregasi politik rakyat sejauh ini dinilai sebagian besar responden belum sanggup mewujudkan aspirasi politik mereka (lebih 60%). Bahkan presiden dan wapres pun, meski di apresiasi, dinilai publik cenderung belum aspiratif kepeda suara rakyat (49,5%). Penurunan aspirasi publik terhadap kinerja presiden sebagaimana terekam dalam jajak pendapat triwulanan juga menegaskan hal itu. Berbagai bidang penanganan yang menjadi penarik simpati publik seperti penegakan hukum, terlihat makin dipertanyakan efektifitasnya.
Selain terkaparnya kelembagaan negara, derasnya arus Pragmatisme dalam berbagai lembaga politik yang tampil dengan baju baru di alam reformasi merupakan hal paling mengkhawatirkan. Setelah kekuasaan politik tidak lagi menjadi faktor dominan intervensi politik, maka iming-iming materi yang dalam mekanisme politik era otonomi sedemikian marak menjadi virus yang sanggup mematikan kepekaan politisi. Hampir sama dengan sikap responden tentang sikap korup politisi, hampir seluruh responden (85.8%) menyetujui anggapan politisi saat ini masih kemaruk uang dan materi. Politisi sekedar mencari kemenangan sesaat dan tidak menghiraukan kesesuaian antara perkataan dan perbuatannya.

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sistem dan pola kerja dunia politisi semakin mengutamakan azas Pragmatisme, yang menyebabkan jatuhnya citra hampir seluruh kelembagaan politik negara. Sehingga proses Demokrasi pun semakin terancam oleh kuatnya penonjolan pemenuhan kepentingan pribadi elit politik.
Tentunya praktek yang diterapkan oleh para politisi, sangat bertentangan dengan faham ideologi yang di anut negara Indonesia yaitu Demokrasi Pancasila. Dimana ideologi negara Indonesia selalu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi yang terjadi dari rakyat, oleh rakyat dan bukan untuk rakyat. Hal ini bisa terjadi karena kaum politisi menerapkan sistem kerja yang hanya mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri tangpa mempedulikan kehidupan orang banyak.
Berkurangnya kadar kepercayaan dan penghargaan terhadap berbagai institusi politik negara kita kian mengkhawatirkan karena bisa jadi merupakan cerminan dan melunturnya rasa keterikatan (komitmen) terhadap nilai ideologi dan konstitusi bangsa ini.

B. SARAN

Terlalu banyak kritik dan saran yang sudah didapat negara Indonesia, tetapi tidak banyak perubahan kearah yang lebih baik. Mungkin memang dikarenakan mental negara dan warga negaranya sendiri sudah jatuh. Ada baiknya untuk kita benar-benar membenahi dari dalam diri kita, mental kita dan sikap kita. Janganlah kita selalu menunggu, ada baiknya kita yang mengambil inisiatif untuk berubah.


DAFTAR PUSTAKA

www.kompas.com
KPMT-Y, Warga Tasikmalaya. Diskusi tentang Pancasila sebagai Ideologi Khayalan. Yogyakarta.
Notonegoro. 2006. Prof. Notonegoro dan Pancasila: Analisis Teksstual dan Kontekstual. Universitas Gadjah mada. Bulaksumur, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar