Pada dasarnaya pandangan weber tentang islam memang mempunyai daya tarik
tersendiri, tapi yang lebih mempesona adalah kenyataan bahwa
pandangannya tersebut mempertaruhkan seluruh totalitas sosiologinya.
Buku ini menganalisa kembali pandangan-pandangan weber yang utama
tentang islam, seperti kerasulan Nabi Muhammad SAW, asal-usul
Kharismatik islam, mistisisme dan auliya, hokum suci syariat dan
sekularisasi dalam islam
Weber telah menyimpulkan bahwa semangat kapitalisme (di eropa) menjelma
karena adanya asketisisme yang lahir dari kandungan
eklesiastik-calfinisme-agama Kristen protestan, jadi yang ingin di capai
weber ialah sebuah pemuasan Tanya atau agaknya sebuah interaksionisme
gampangan bahwa Kristen sebagai agama yang mendunia di barat telah mampu
melahirkan kapitalisme. Sedangkan agama yang merupakan berakar juga
dari cikal bakal yang sama yaitu ibrahimiah, yang menggelora di
timursecara sepektakuler, mestinya juga bisa melahirkan kapitalisme
untuk umatnya. Tapi apa yang di temui weber tidak ada kapitalisme di
timur, tidak ada etika asketis di dalam islam.weber hanya menemui
kenyataan bahwa dominasi patrimonialisme, misi agama awal yang sudah di
penggal oleh segerombolan prajurit pemangku panji-panji islam, telah
menggugurkan tumbuhnya kapitalisme dari kandungan islam atau membuat
islam sekedar agama akomodatif.
Dogma “ kepercayaan agama” khususnya syariat islam merupakan kerangka
yang “dingin” dan berpengaruh secara kausal di dalam mana kegiatan
social berlangsung, namun kemudian weber memperlunak pernyataannya ini
dengan menerangkan, bahwa dominasi patrimonial yang berbuat sekehendak
hatinya dan yang tidak dapat di perkirakan dari semula mempunyai hasil
memperkuat lingkungan ketaatan terhadap hokum. Walau weber selalu
tergelincir ke dalam posisi kausalitas pluralis dan ketidakpastian
kausal, namun wujud keseluruhan pengkajiannya adalah, bahwa masyarakat
islam adalah sebuah masyarakat yang berciri dominasi patrimonial, yang
menyebabkan hubungan-hubungan politik, ekonomi dan hokum menjadi tidak
setabil dan kacau, tegasnya tidak rasional. Weber berkelanjutan
mempertentangkan kondisi social feodalis eropa, yang menjamin hak milik,
dengan kondisi feodalisme “prebendal” dan patrimonialisme dunia timur
yang mengangkat cara-cara kesemena-menaan setinggi-tingginya.
Ada beberapa tugas utama yang haarus di emban weber dalam penelitian
tentang islam ini. Ialah untuk menggariskan secara kasar apa yang di
tulis weber sesungguhnya tentang islam, nabi muhammad dan kaum muslimin
dan menghubungkan komentarnya yang belum selesai itu denga penelitian
agama dengan bentuk tatanan-tatanan social yang lebih luas. Max weber di
kenal karena penelitiannya tentang agama Kristen protestan dan
timbulnya kapitalisme eropa, yang secara implicit dikelirukan orang
sebagai analisa yang meng-calvinisme sebagai penyebab lahirnya
kapitalisme. Dengan istilah yang lebih lunak, karya weber sering kali
dianggap sebagai jawaban atas teori karl marx, atau setidak-tidaknya
atas marxisme. Dalam buku ini lebih kurang kebalikan posisi yang dua
itu, karena Bagi weber, sifat lembaga-lembaga politik muslim yang
patrimorniallah yang menjadi penghalang tumbuhnya pra-kondisi kapitalis,
yaitu hokum rasional, pasar buruh bebas, kota-kota yang otonom, dan
satu kelas borjuis. Ketika weber menyebut islam sebagai agama- prajurit
yang telah mengintrodusir suatu etika yang tidak selaras dengan
“semangat kapitalisme”, pendapat ini tanpa ampun di sangkal oleh
kenyataan-kenyataan factual yang murni. Bagaimanapun juga, penggarisan
kasar etika perajurit islam sebenarnya merupakan refleksi utama dari
keresahan hatinya tentang sifat patrimornial islam zaman madia. Dalam
membahas patrimonialisme timur entah sengaja weber telah menjiplak
analisa masyarakat timur, yang pernah di garap marx dan engels; karena
itu unsure kedua pengkajian ini adalah juga sebuah analisa hubungan
antara marx dan weber dalam kerangka pemikiran marx: yaitu “Asiatic mode
of production” (cara-cara produksi ala marx). Jadi pada dasarnya,
betapapun marx menekankan pentingnya monopoli kekuasaan ekonomi dan
weber menekankan pada monopoli kekuasaan politik, namun dalam garis
besar, pemikiran dasar dan implikasi wawasanmereka tentang jurang
perbedaan antara asia dan eropa adalah sama. kemudian pada bagian
penutup buku ini,memusatkan hubungan antara islam, kolonialisme dan
timbulnya masyarakat modern. Argumentasi pada bagian akhir akan berisi
kesimpulan bahwa pandangan weber etika kapitalis dan sekulerisasi sangat
cocok bagi situasi history timur tengah, bukan karena adanya persamaan
dasar antara masyarakat industri dan etika sekuler, tetapi karena
pandangan- pandangan dunia seperti ini sudah di impor sendiri oleh kaum
cerdik pandai muslim yang telah menerima lebih dulu penafsiran barat
tentang sejarah.
Namun seiring itu, tanggung jawab rangkap islam sebagai agama batiniah
yang personal dan sebagai agma solideritas social, justru adalah masalah
keagamaan pribadi di Negara non-islam. Golongan kemalis dengan
reformasi-reformasinya, telah memperagakan bahwa orang dapat dengan
cepat mengubah lembaga-lembaga yang di pandang di perintahkan oleh allah
dan tidak dapat di ubah. Di bawah kondisi- kondisi yang baru, islam
harus berlomba-lomba dan becampur dengan bermacam-macam perspektif
ideologis, yang mengajukan berbagai tuntutan intelektual dan memerlukan
berbagai ikatan. Sesudah kehilangan nilai-nilai monopoli umum, islam
menjadi dasar kesalehan pribadi yang tak menentu. Dengan meniru
sekularisasi barat, islam juga harus menghadapi paradoks “memilih untuk
percaya”. Di dalam dunia pilihan pribadi yang tak menentu, di mana hanya
terdapat beberapa tongkat pengukur moral.(“masalah moderenisasi” yang
peling besar untuk islam bukan masalah dapat atau tidaknya ia membantu
modernisasi politik, keluarga atau pribadi, namun apakah ia dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ummat yang modern).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar