LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia yang sangat banyak
menghadapi masalah baik bencana maupun krisis yang masih terus
berkepanjangan. Keadaan bangsa Indonesia yang seakan tidak mau keluar
dari masalah tersebut menyebabkan sulitnya perkembangan yang terjadi di
negara Indonesia baik di politik, sosial budaya, pertahanan keamanan
sampai ke perekonomian Indonesia yang temasuk sebagai salah satu negara
miskin di dunia. Tidak bisa di pungkiri masih banyak warga negara
Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Satu sisi,
kekayaan sumberdaya alam yang melimpah ruah seakan menunjukan bahwa
sebenarnya bangsa Indonesia adalah negara yang kaya tetapi di sisi lain
menimbulkan banyak teka-teki, apakah warga negara Indonesia tidak dapat
mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Tetapi kalau
teka-teki tentunya bisa di pertanyakan lagi, kalau memang warga negara
Indonesia tidak tahu mengolah dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam
yang ada tentunya sumber daya alam Indonesia harusnya masih perawan
atau belum terjamah, tetapi kenapa sangat banyak kekayaan alam Indonesia
yang sudah gundul bahkan tandus?
Sistem ideologi bangsa
Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Dimana sistem ideologi yang
berdasarkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat serta diatur dalam
dasar negara RI yaitu Pancasila. Hal ini sangat terlihat jelas dalam
sisa Pancasila khususnya sila ke-4 “ kerakyatan yang di pimpin oleh
hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dan di dukung
lagi oleh batang tubuh UUD 45. Bahkan tercantum dalam pasal 33 UUD 1945
“kekayaan alam dan segala yang termasuk di dalamnya adalah milik negara
dan digunakan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat.
Sudah
jelas sistem pemerintahan RI adalah Demokrasi Pancasila yang selalu
mengutamakan kepentingan rakyatnya. Sistem perwakilan rakyat yang ada
dalam kursi pemerintahan akan memperjuangkan rakyatnya. Tetapi hal ini
kurang berjalan sesuai dengan esensinya yaitu dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Bahkan banyak dari pemerintah sebelum terpilih selalu
menjanjikan hal-hal yang di inginkan masyarakat, tetapi sesudah menjabat
dan menduduki kursi di pemerintahan lupa akan janjinya tersebut.
Kaum pragmatis beranggapan benar tidaknya suatu dalil, ucapan atau
teori semata-mata bergantung kepada azas manfaat. Sesuatu di katakan
atau dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah
jika tidak mendatangkan hal tersebut. Memang pada dasarnya tujuan dari
pragmatis itu sendiri baik, tetapi dalam prakteknya akan ada pihak yang
di rugikan. Dewasa ini banyak orang yang menghalalkan segala cara hanya
intuk mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri. Hal inilah yang terjadi
dalam tubuk pemerintahan Indonesia era reformasi. Mencerminkan belum
bertemunya mekanisme politik yang di inginkan dengan kondisi faktial
masyarakat.
Berkurangnya kadar kepercayaan dan penghargaan
terhadap berbagai institusi politik negeri ini Kian mengkhawatirkan
karena bisa jadi merupakan ceminan dari melunturnya rasa keterikatan
atau komitmen terhadap nilai ideologi dan konstitusi bangsa ini.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Pragmatisme yang terjadi di Demokrasi Indonesia?
2. Bagaimanakah proses penyampaian kehendak dan aspirasi rakyat dalam wujud Demokrasi Indonesia?
3. Bagaimana pandangan publik terhadap kinerja Demokrasi di Indonesia baik dari segi positf maupun negatif?
TINJAUAN PUSTAKA
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma yang artinya
guna. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang
benar adalah bahwa apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar
dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Menurut filsafar
ini benar tidaknya suatu dalil, ucapan atau teori semata-mata bergantung
pada azas manfaat. Suatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat,
begitu juga sebaliknya.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi
tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan
bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat di terima asalkan bermanfaat
bagi kehidupan. Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat
memperkaya kehidupan, maka ide-ide tersebut benar.
Menurut
teori Pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa
akibatyang bermanfaat dan memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktek,
dan apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh
kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi
kebenaran adalah apa saja yang berlaku (works).
Yang di maksud dengan hasil yang memuskan ialah :
1. Apabila memenuhi keinginan dan tujuan manusia
2. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen
3. Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada
Menurut pendapat ini, tidak ada apa yang disebut kebenaran mutlak, atau kebenaran yang tetap.
Contoh
: ilmu botani itu benar bagi para petani karena mendatangkan manfaat
tetapi belum tentu bagi nelayan karena ia tidak memerlukan ilmu botani.
Yang ia perlukan adalah ilmu parbintangan kerena dapat memberi petunjuk
arah dan keadaan cuaca pada saat ia mengarungi lautan.
Masalah
kebenaran, tentang asal atau tujuan dan hakekat bagi orang amerika
terlalu teoritis. Yang diinginkan adalah hasil-hasil konkrit. Dengan
demikian untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah di
selidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya (William James, 1820-1910).
Mengetahui merupakan alat atau instrumen untuk menangani situasi
tertentu. Pikiran adalah insrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan.
Ide-ide merupakan senjata yang bertujuan dari pikiran. Ide-ide adalah
luwes dan mudah dapat disesuaikan. Pragmatisme sebagai instrumentalisme
(Jhon Dawey, 1859-1952).
Prisip Pragmatisme : manusia perlu
menentukan mana tindakan yang sangat berarti yang perlu di ambil. Untuk
memahami objek pemikiran, manusia perlu mempertimbangkan akibat praktis
yang menurut akal sehat termuat dalam objek itu. Konsepsi kita tentang
akibat-akibat ini merupakan keseluruhan kosepsi kita tentang objek itu,
sejauh konsepsi itu benar-benar mempunyai arti positif. Demikian pula
tindakan tidak dapat difahami jika kita tidak dapat memahami konsekuensi
praktis atau hasil dari tindakan itu (Charles S Pierce, 1839-1914)
LANDASAN TEORI
Democracy: Government Of The People, By The People, For The People.
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Kita mengenal berbagai jenis Demokrasi, diantaranya Demokrasi
konstitusional, Demokrasi parlemen, Demokrasi rakyat, Demokrasi
Pancasila dan sebagainya.
Menurut penelitian UNESCO pada tahun
1949 yang hasilnya adalah “mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah
Demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan sesuai untuk
semua sistem organisasi politik”.
Demokrasi umumnya dianggap
mengungkapkan dua nilai yang sangat dihargai: kebebasan (freedom) dan
persamaan (equality). Kebebasan: memberikan kesempatan rakyat mengajukan
pendapat dalam pembuatan keputusan politik; terutama keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Persamaan: kebebasan itu diberikan pada
kita semua secara sama.
Bentham: democratic goverenment rule ‘in the interest of the governed
Demokrasi yang dianut Indonesia, yaitu Demokrasi yang berdasrkan
Pancasila, masih dalam taraf pengembangan dan mengenai sifat-sifat dan
ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang
tidah dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari Demokrasi
konstitusional cukup jelas tersirat dalam UUD 1945. Selain dari itu UUD
kita juga menyebut secara ekplisit dua prinsip yang menjiwai dan
dicantumkan dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).
2. Sistem konstitusional
Pemerintahan
berdasarkan konstitusional (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas), berdasarkan dua istilah “rechstaat” dan
“system konstitusi” maka jelaslah bahwa Demokrasi yang menjadi dasar
UUD 1945, ialah Demokrasi konstitusional.
Disamping itu corak
khas Demokrasi Indonesia , yaitu kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan dimuat dalam
pembukaan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila yang bercirikhaskan
sila ke-4 Pancasila menunjukan bahwa Demokrasi yang di Indonesia selalu
mengutamakan kepentingan dan suara rakyat. Dalam prakteknya rakyatlah
yang memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di pemerintahan guna
memperjuangkan dan melaksanakan aspirasi rakyat. Pemilihan pemerintahan
dari rakyat melalui partai politik menandakan sistem pemerintahan
Indonesia dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
PEMBAHASAN
Sepak terjang dunia politisi masa kini yang dinilai semakin
mengutamakan azas Pragmatisme, menyebabkan jatuhnya citra hampir seluruh
kelembagaan politik Negara. Proses demokratisasi pun semakin terancam
oleh kuatnya penonjolan kepentingan pribadi elite politik.
Tahap krusial setiap bangsa untuk menemukan bentuk Demokrasi yang
dianggap paling tepat adalah saat sebuah bangsa membangun mekanisme
politik, yang meliputi gaya dan tingkah laku politik yang dianggap
paling sesuai dan andal bagi kehidupan bangsa itu. Pengalaman bangsa
Indonesia yang telah berganti model Demokrasi, sejak Demokrasi liberal,
Demokrasi terpimpin, Demokrasi perwakilan, hingga Demokrasi model era
reformasi, mencerminkan belum bertemunya mekanisme politik yang
diinginkan dengan kondisi factual masyarakat.
Berkurangnya
kadar kepercayaan dan penghargaan terhadap berbagai institusi politik
Negara ini kian mengkhawatirkan karena bias jadi merupakan cerminan dari
melunturnya rasa keterikatan (komitmen) terhadap nilai ideology dan
konstitusi bangsa ini. Padahal, mekanisme politik Demokrasi tidak
mungkin muncul dan bertahan dalam setiap politik apabila manusia yang
menjadi anggota masyarakat, termasuk elit politik dan penguasa, tidak
memiliki sikap demokratis (Alfian, politik, kebudayaan dan manusia
Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1982)
Sulit dihindari dan harus
diakui kekecewaan yang berkembang pada berbagai lembaga Demokrasi bias
mewujud kepada kian membesarnya apatisme politik, yang salah satu
wujudnya adalah menurunnya pemilih pada pemilu. Pemilihan kepala daerah
di beberapa daerah sudah menunjukan kecenderungan apatisme tersebut.
Meski penuruna partisipasi itu tidak akan secara langsung mengancam
stabilitasi politik Negara, bukan tidak mungkin akumulasi kekecewaan
berbuah menjadi anti kemapanan yang lebih nyata.
Kenyataan
menunjukan, terbentuknya mekanisme politik saat ini, antara lain
meliputi bentuk baru kelembagaan Negara serta kebebasan berekspresi dan
politik, ternyata belum membawa masyarakat dan pemerintah pada budaya
Demokrasi. Nilai yang seharusnya menyertai demokratisasi, seperti setiap
warga Negara memiliki kesempatan dan persamaan di muka hokum, mendapat
perlindungan hukum dan kebebasan hak yang dilindungi oleh hokum serta
adanya pengakuan kedaulatan rakyat dan kedewasaan berpolitik, tidak
kunjung dating. Masyarakat dan elit politik justru kerap masuk dalam
suasama dilematis sehingga yang tampak kepermukaan adalah cermin yang
memantulkan silang-sengkarut penegakan hokum, percekcokan antarelite
politik dan perilaku pragmatis para politisi.
Membangun
mekanisme Demokrasi yang sehat juga mengandaikan hadir dan berfungsinya
lembaga politik sesuai dengan kehendak ideologi dan konstitusi.
Kehadiran lembaga baru seperti dewan perwakilan daerah (DPD), Mahkamah
Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) semestinya menjadi nilai tambah dari mekanisme checks and balances
yang dianut saat ini. Namun yang terekam dari perjalanan selama
beberapa tahun kehadiran lembaga tersebut justru kekisruhan politik dan
hukum yang terjadi. Sebagaimana akhir perseteruan antara KY dengan MA,
atau yang terbaru, akhir perseteruan antara Ketua KPK dan Mensesneg yang
mengambarkan nilai Demokrasi (penegakan hukum) yang dibangun tidak
selalu sama dengan nilai politis stabilitas kekuasaan.
Menguatnya politik aliran sebagian masyarakat, perpecahan internal
parpol hingga tarik ulur perubahan kelima UUD 1945, pada satu sisi
menggambarkan sisi dinamis dan cairnya mekanisme politik saat ini. Namun
hal itu boleh jadi juga menyiratkan kian longgarnya ikatan kebersamaan
diantara sesama anak bangsa. Kecemasan poltik meningkat karena wadah
Demokrasi justru semakin banyak dimanipulasi elit dan politisi untuk
memuaskan hasrat dan menumpuk kekayaan. Di mata publik, nyaris mustahil
menemukan sosok politikus yang dinilai bersih dari berbagai “noda”
politik saat ini. Baik elit politik yang duduk dilembaga eksekutif
maupun legislatif dinilai sama buruknya oleh publik. Baik dinilai dari
aspek kelembagaan politik, prilaku politisi, maupun keberpihakan kepada
rakyat, sama-sama menunjukkan hasil negatif.
Penilaian paling
negatif terhadap citra dan kinerja kelembagaan negara saat ini justru
dialamatkan kepada wakil rakyat yang duduk di DPR, DPRD, dan DPD. Hanya
sepertiga bagian responden (antara 26% dan 30%) yang menilai citra wakil
rakyat itu baik. Sementara sekitar 60% responden justru menilai sosok
mereka memang masih buruk.
Merebaknya berbagai kasus yang
menyangkut pribadi wakil rakyat, seperti kasus kedisiplinan dalam
persidangan, studi banding, video mesum, hingga yang terakhir soal dana
rapelan tunjangan komunikasi, tak pelak menjadi promosi efektif
bagaimana kinerja wakil rakyat. Ditengah sorotan terhadap lemahnya
fungsi kontrol dan penyerapan aspirasi anggota DPRD, keengganan sebagian
wakil rakyat mengembalikan dana tunjangan, mengentalkan pandangan atas
Pragmatisme pada diri politisi daerah. Pada jajak pendapat kompas
januari 2007, hanya 12,2% responden yang masih percaya kalau orientasi
perjuangan anggota DPRD diabdikan untuk kepentingan rakyat. Selebihnya
memandang orientasi mereka lebih ditujukan untuk kepentingannya sendiri
dan pertai.
Sementara sepak terjang DPD yang sebetulnya
diharapkan menjadi penyeimbang dari wksistensi parpol di parlemen pada
kenyataannya belum mampu benar-benar hadir ditengah rakyat. Sejauh ini
sebagian besar responden tetap belum memahami dan mengenal sepak terjang
politisi DPD. Dalih bahwa sistem politik kuraang mengakomodasi
kepentingan anggota DPD justru semakn menegaskan semakin rendahnya
komunikasi politik.
Pandangan negatif juga masih disuarakan
publik terhadap kiprah parpol melaksanakan fungsinya menjadi perwujudan
suara politik rakyat. Dalam jajak pendapat ini terlihat tingkatnya
dinilai sama bahkan lebih buruk dari pada wakil rakyat. Hanya sekitar
seperempat bagian responden yang menilai citra dan kinerja parplo baik
sedangkan sekitar 60% lainnya masih menilai buruk. Dominasi parpol dalam
mekanisme perekrutan wakil rakyat di DPR dan DPRD serta masih kuatnya
keterikatan mereka kepada parpol saat sudah menjadi wakil rakyat
menyebabkan terlalu sulitnya memisahkan identitas sosok wakil rakyat
dari parpolnya. Apalagi dalam berbagai kasus penting, publik melihat
suara wakil rakyat di DPR mudah di tebak hasil akhirnya berdasarkan
kepentingan dan posisi politik parpol. Yang agak positif adalah
penilaian publik terhadap citra dan kinerja politisi lembaga eksekutif,
relatif lebih baik ketimbang legislatif. Penilaian baik terhadap citra
dan kinerja presiden Susilo Bambang Yudoyono, misalnya, masih mencakup
sekitar 60% responden dan hanya sebagian kecil yang menilai buruk.
Kecenderungan serupa, meski lebih tipis, justru tercermin dalam sikap
responden menilai kiprah Wapres Jusuf Kalla. Memang terasa ada sentimen
latar belakang politik. Dilihat dari latar belakangnya terlihat
responden yang menjadi pemilih parpol pendukung pemerintah saat ini
cenderung lebih menilai positif, sedangkan pemilih partai oposisi,
seperti PDIP, cenderung menilai buruk citra dan kinerja presiden dan
wapres. Namun sentimen itu pudar tatkala menilai kiprah dan citra
menteri kabinet, yang secara umum menilai masih buruk dan tidak
memuaskan.
Kehendak dan kedaulatan rakyat, yang merupakan
sendi utama Demokrasi, belum sepenuhnya diakomodasi. Paling tidak hal
itu tercermin dari kegamangan responden memandang terakomodasinya
aspirasi mereka oleh mekanisme Demokrasi. Parpol dan wakil rakyat yang
menjadi sarana agregasi politik rakyat sejauh ini dinilai sebagian besar
responden belum sanggup mewujudkan aspirasi politik mereka (lebih 60%).
Bahkan presiden dan wapres pun, meski di apresiasi, dinilai publik
cenderung belum aspiratif kepeda suara rakyat (49,5%). Penurunan
aspirasi publik terhadap kinerja presiden sebagaimana terekam dalam
jajak pendapat triwulanan juga menegaskan hal itu. Berbagai bidang
penanganan yang menjadi penarik simpati publik seperti penegakan hukum,
terlihat makin dipertanyakan efektifitasnya.
Selain
terkaparnya kelembagaan negara, derasnya arus Pragmatisme dalam berbagai
lembaga politik yang tampil dengan baju baru di alam reformasi
merupakan hal paling mengkhawatirkan. Setelah kekuasaan politik tidak
lagi menjadi faktor dominan intervensi politik, maka iming-iming materi
yang dalam mekanisme politik era otonomi sedemikian marak menjadi virus
yang sanggup mematikan kepekaan politisi. Hampir sama dengan sikap
responden tentang sikap korup politisi, hampir seluruh responden (85.8%)
menyetujui anggapan politisi saat ini masih kemaruk uang dan materi.
Politisi sekedar mencari kemenangan sesaat dan tidak menghiraukan
kesesuaian antara perkataan dan perbuatannya.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem dan pola kerja dunia politisi semakin mengutamakan azas
Pragmatisme, yang menyebabkan jatuhnya citra hampir seluruh kelembagaan
politik negara. Sehingga proses Demokrasi pun semakin terancam oleh
kuatnya penonjolan pemenuhan kepentingan pribadi elit politik.
Tentunya praktek yang diterapkan oleh para politisi, sangat
bertentangan dengan faham ideologi yang di anut negara Indonesia yaitu
Demokrasi Pancasila. Dimana ideologi negara Indonesia selalu dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi yang terjadi dari rakyat,
oleh rakyat dan bukan untuk rakyat. Hal ini bisa terjadi karena kaum
politisi menerapkan sistem kerja yang hanya mendatangkan manfaat bagi
dirinya sendiri tangpa mempedulikan kehidupan orang banyak.
Berkurangnya kadar kepercayaan dan penghargaan terhadap berbagai
institusi politik negara kita kian mengkhawatirkan karena bisa jadi
merupakan cerminan dan melunturnya rasa keterikatan (komitmen) terhadap
nilai ideologi dan konstitusi bangsa ini.
B. SARAN
Terlalu banyak kritik dan saran yang sudah didapat negara Indonesia,
tetapi tidak banyak perubahan kearah yang lebih baik. Mungkin memang
dikarenakan mental negara dan warga negaranya sendiri sudah jatuh. Ada
baiknya untuk kita benar-benar membenahi dari dalam diri kita, mental
kita dan sikap kita. Janganlah kita selalu menunggu, ada baiknya kita
yang mengambil inisiatif untuk berubah.
DAFTAR PUSTAKA
www.kompas.com
KPMT-Y, Warga Tasikmalaya. Diskusi tentang Pancasila sebagai Ideologi Khayalan. Yogyakarta.
Notonegoro.
2006. Prof. Notonegoro dan Pancasila: Analisis Teksstual dan
Kontekstual. Universitas Gadjah mada. Bulaksumur, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar