Pola etika ekologi sebagai counter attack atas faham dalam ekologi yang
sangat otoriter, dalam hal ini adalah Antroposentrisme yang memandang
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem
dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat
perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan
manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam tidak mempunyai
nilai pada dirinya sendiri. Antroposentrisme nantinya akan menghasilkan
faham-faham keberlanjutannya seperti kapitalisme dan pragmatisme. Pola
etika ekologi haruslah bersifat netral sehingga menghilangkan dari
permasalahan objek dan subjek, tapi itu akan menjadi suatu kesatuan
untuk saling melengkapi. Pola ekologi yang dimaksud adalah etika
lingkungan hidup, biosentrisme dan ekosentrisme.
Etika lingkungan hidup
Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama
ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan
mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia.
Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents)
melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), sehingga
pantas menjadi perhatian moral manusia. ‘Kesalahan terbesar semua etika
sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan
antara manusia dengan manusia’ Albert Schweitzer.
Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adnya
perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan
memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas
moral.
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan
biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja
karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas
pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan
etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan
etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme,
konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti
tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas
untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism).
Biosentrisme dan ekosentrisme mengkritik antroposentris. Jadi Etika
antroposentrisme dituding sebagai spesiesisme, karena hanya
mengunggulkan satu spesies saja, yaitu spesies manusia, sambil
menganggap rendah spesies lain. Selain itu bagi biosentrisme dan
ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial.
Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk
ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi
sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling
tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai
intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu
untaian dalam jaringan kehidupan".(Fritjof Capra:1997)
Semangat alam adalah semangat hidup itu sendiri. Bagaimanapun
harapan-harapan kemanusiaan ke depan tetap harus mempertimbangkan
keberlanjutan dan keseimbangan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar